Jumat, 05 Desember 2008

Tugas Cerpen Bahasa Indonesia

Diari Ria

Sabtu, 4 April 2008
Hi teman-yang-selalu-ada-menemaniku sayang.
Kau pasti bosan. Kenapa? Ya, karena aku akan bertanya lagi hal yang sama yang telah delapan puluh kali kutulis di lembar-lembar mu ini, “Kapan aku punya teman?”. Bukan, bukan begitu maksudku, kau tetap temanku, kau sahabatku yang paling setia, tubuhmu yang tebal seakan selalu siap menerima semua keluhanku,kau bagai memelukku dengan hangat. Kau juga selalu ceria, warna merah mudamu tak pernah luntur, setiap kulihat kau, aku tahu, kau tersenyum untukku “Hi Ria..apa kabar hari ini” sapamu, atau kau juga kadang menghiburku “Sudahlah..tabah”. Kau teman yang baiiiik banget.
Tapi, tahukah kau, teman-paling-baikku sayang. Terkadang aku menerawang ke langit, aku iri pada bintang-bintang, aku iri pada matahari. Bintang yang kulihat kecil itu, dalam gelap malam, selalu setia,berani,menerangiku,menemani setiap oarang dikala gelap. Matahari yang selalu mereka hujat dengan kata “Sial, matahari panas!” dan lainnya saja, ia masih, selau, selalu saja menerangi kita, apakah mereka tidak berpikir? Apa jadinya bumi tanpanya? Ia merupakan sumber kehidupan mereka, manusia. Ia yang memberi nafas pada tumbuahn yang kita makan, pada padi, pada rumput yang dimakan sapi, yang kita makan pula dagingnya. Aku pun.
Aku berpikir, mengapa bintang dan matahari bisa bertahan, terus saja mengisi langit? aku pun tahu, ia tak sendiri, lihatlah teman-paling-baikku sayang, ia selau berkelip, bermain bersama jutaan bintang lain. Ia tak kesepian. Matahari, ia bercanda, petak umpet, bersembunyi dibalik awan, lalu keluar lagi. Ia tak kesepian.
Terima kasih kawan, kau lagi-lagi basah menampung air mataku. Tenang, aku tidak menangis kok..bukankah ini sudah biasa? Sudah delapan puluh kali aku menulis di tubuhmu. Satu lembar malah pernah bolong, maap ya.. Hanya sepuluh kali aku tersenyum di depanmu, masih bisa dihitung dengan jari.
Ini kali kedelapan puluh satunya aku menulis diatas dan kini, berarti sudah tujuh puluh satu Kali aku membasahimu kawan.
Kawan, aku kesepian, dan..

Segera Ria menutup bukunya, ia tak melanjutkan tulisannya setelah ia melihat jam dinding mickey mouse-nya menunjukkan pukul 16:00 WIB. Diiringi suara teriakan ceria, tawa, ia mengayuh dengan semangat, memutar roda dari kursi rodanya menuju arah jendela besar di kamarnya, lalu ia mengusap air yang membasahi wajahnya dengan menarik kerah bajunya, lalu terisak, lalu mengembang, tersenyum seiring membuka tirai.

Posisi kamar Ria berada dilantai dua rumah minimalisnya. Sebuah jendela besar disana, menghadap ke arah belakang rumah, ke arah padang rumput hijau tempat anak-anak biasa bermain, berkejar-kejaran, layang-;layang, menangkap capung, bermain lumpur dikala hujan.

Jam empat sore, biasanya anak-anak sudah mulai berkumpul. Biasanya mereka menggerombol, membentuk lingkaran. Seperti mengadakan rapat kecil diantara mereka, memutuskan “main apakah hari ini?”. Lalu salah satu dari mereka pun berlari meninggalkan gerombol tadi. Satu, dua, dan mereka lalu muali mengejar satu sama lain, terjatuh, tertawa, teluka, ceria.

Ria sudah hafal. Pola yang ia lihat, amati selama 5 tahun itu tak pernah berubah. Pola keceriaan. Tapi mereka tak pernah bosan, begitupun Ria, ia tak pernah absen melihat mereka. Menyaksikan mereka dari jauh, dari jendela kamarnya. Tersenyum, kadang menggerak-gerakan tangannya bagai burung, melonjak menegangkan punggungnya, mengenggam tangannya erat, atau mengerak-gerakan jari-jari mungil kakinya, tertawa ringan, kadang terbahak. Namun, kadang pula menangis.

Sebenarnya, sekali ia pernah absen. Saat itu ia terpaksa harus di opname di rumah sakit untuk sebulan lamanya. Walau banyak mendapat coklat, mainan, dan kartu ucapan, ketika malam, sendiri ia menangis dalam lelap. Ia merasa kesepian. Tak ada yang tahu hal ini, ia tak mau lagi menambah beban ibundanya, ia tak mau dikasihani, ia selalu tersenyum ketika orang-orang datang menjenguknya.

Saat di rawat di rumah sakit itulah ia berkenalan, bertemu dengan sang teman-manis-paling-setianya, sebuah buku diari merah jambu, bergambar anjing putih kecil, pemberian ayahnya yang kini sudah tak bersamanya lagi. Entah kenapa, sejak ia bertemu dengan temannya itu ia tak pernah lagi menangis dalam lelap. Ia merasa lebih tenang.

Sejak Ria mebuka matanya, keluar dari gelap, hadir di dunia, ia sudah lemah. Ia cacat sedari kecil, kakinya tak bisa digerakkan dan satu hal yang Ria paling benci—kadang—bibirnya yang sumbing. Sebenarnya bisa saja ia dioperasi karena ia memiliki keluarga yang berkecukupan. Tapi, ibunya memiliki trauma tersendiri dan tak mengizinkan Ria dioperasi. Hal ini juga yang nantinya menjadi pemicu perceraian ayah dan ibundanya.

Sedari kecil, Ria selalu dirumah, tempat terjauh yang dicapainya hanya taman, ke halaman rumahnya yang luas namun terasa sempit baginya. Ia memiliki tubuh yang rentan terhadap penyakit, dingin sedikit saja di luar rumah, ia bisa terkena demam berdiam di dalam rumah.

Diari dan jendela, bisa dibilang dua hal itu yang paling berharga baginya. Lewat diari ia berbagi, melalui jendela ia bermimpi. Mencari sedikit obat bagi kesepiannya.

Ria terdiam, tidak tertawa, tidak tersenyum tidak pula menangis, menatap menembus jendela, ia kaget. Pola yang selalu berjalan di atas lapangan hijau itu, teratur, kini terusik. Ia melihat seseorang yang ia tak pernah lihat sebelumnya. Bukan orang tua mereka, kakak, atau kakek yang memanggil cucunya. Mengenakan kaos hitam, becelana jeans, bekumis, dan berambut cepak model tentara. Mengeluarkan sesuatu dari sakunya, berlari, menangkap seorang anak, memeluknya dari belakang. Terlhat benda itu berkilau terkena cahaya, Ria melihat kilauan itu, di leher anak yang pria itu dekap. Seperti menodong entah mengancam. Ria menduga itu adalah pisau.

“Ari! Ari!” teriak seorang gadis berambut pendek sebahu.

“Diam!” seorang pria besar berkaos hitam berteriak, membentak. Serentak, gadis berambut pendek beserta ketiga orang yang lain terdiam, berdiri kaku. “Awas, kalau kalian berteriak! Diam!” bentak pria itu lagi dengan kasarnya. Ratih si gadis kecil, mulai meneteskan air mata. Heru yang walau takut, memberanikan diri, mencoba menenangkan Ratih dengan mengeanggam erat tangan mungilnya. Fikiri bocah botak ingusan, sudah sedari tadi celananya basah, ia ketakutan hingga tanpa sadar mengeluarkan air seninya di celana, kakinya bergetar, giginya gemeretak.

“Eh lu, botak! Sini!” tunjuk pria berwajah garng itu pada Fikri. Heru dan Ratih melirik ke arah Fikri. Bercampur rasa khawatit dengan pikiran “ayo dong kri, biar selamet”. Bingung, terdiam sesaat. “Eh, botak! Lu budek ya, cepet sini!”

Fikri ambruk, pingsan.

Nafasnya berpacu, menderu. Jantung berdegup kencang. Belum pernah ia merasakan setegang ini. Mengigit-gigit kukunya,cemas. Ria bingung harus melakukan apa. Ia lalu memutuskan untuk menagmbil diarinya, membuka lalu mulai menulis.

Sabtu, 4 April 2008
GAWAT! Kawan! Kita harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Kau tahu?
Jangan! Aku rasa polisi tak akan percaya padaku dan lagi bicara pun aku tak jelas. Lalu apa? Bunda masih dikantor, aku tak mungkin bisa meneleponnya. Bunda kan sibuk. Om Sam? Ah! Aku lupa, hari ini Bunda dan Om Sam pergi ke Jogja untuk urusan bisnis.
Bi Inah! Kau benar. Kenapa aku begitu bodoh! Terima kasih ya temanku sayang..ayo!

Ditutup buku merah jambu itu, dipeluknya. Ia lalu bergegas keluar kamar, memutar roda kursinya sekuat tenaga, cepat, ke arah pintu di seberang pintu kamarnya.

Sambil berdendang kecil sesekali bersiul, Inah menyeterika pakaian-pakaian yang menumpuk. Satu persatu, helai demi helai, dengan cekatan ia menyeterika pakaian-pakain itu denagn rapi. Ia sudah biasa. Sudah 20 tahun berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dan hampir setengah dari perjalanan karirnya ia habiskan di rumah minimalis namun besar milik keluarga Hargo. Rumah Ria dan ibundanya. Ia telah megasuh Ria sedari kecil. Menjaganya, memandikannya, menyuapinya, menjadi teman bermainnya, kadang ia juga menemaninya tidur, menjadi ibu, kakak, saudara dan pembantu bagi Ria. Ia menyayangi anak itu dengan segenap hatinya.

Suasana menyeterikalah yang paling ia senangi. Karena tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga, ia bisa sesambil beristirahat, berdendang ringan, kadang menyanyi. Suasana itulah yang ia nikmati sekarang. Meyeterika, di akhir minggu, di sore hari tenang.

Tersentak, suasana ketenangan yang menyelimuti Inah tercabik. Kaget, reflek, ia lalu mengusap-usap dadanya. Entah sejak kapan setrika yang tadi ia genggam di tangannya tadi, sekarang berada di pojok ruang sempit tempatnya terduduk. Sebuah suara teriakan seorang gadis kecil mengagetkan Inah. Memecah ketenangannya. “Bi..bi Inah! Bi!” suara itu semakin dekat, dan sekarang ia menduga suara itu berasal tepat di depan pintunya. Lalu, dengan sigap ia segera beranjak untuk membuka pintu tersebut.

Belum sempat Ria mengetuk mengetuk pintu kamar Bi Inah pintu itu sudah lebih dulu terbuka, dibuka dalam.

“Kenapa sayang? Ada apa?” melihat wajah Ria yang begitu panik, dengan naluri keibuannya Bi Inah lalu menunduk dan mendekap Ria, mengusap-usap punggungnya “cup..cup..Ria panik sekali, kenapa nak?” katanya lembut.

Ria tak menjawab. Bi Inah melepaskan dekapannya karena mendapat isyarat dari gerak tubuh Ria. Merasa jarinya dipegang dan ditarik, ia pun mengikuti saat Ria menarik dirinya ke arah kamarnya. “Buru-buru sekali nak? Kenapa sih?” tanyanya pada Ria. Ia tetap tak bersuara, mungkin karena sudah terlalu panik, ia tak sanggup bersuara. Ia memeluk diarinya erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya, dengan jari-jari mungilnya, mengenggam telunjuk Bi Inah. Melihat hal itu, Bi Inah memutuskan untuk tak bertanya lagi, diikutinya Ria dengan hati yang was-was. Ia takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ria.

Bruak! Ria membuak pintu kamarnya dengan kasar. “Bi!” ditunjuknya arah jendela besar di kamarnya kepada Bi Inah dan melepaskan genggaman tangannya pada jari telunjuk wanita itu. Dengan detak jantung yang kian lama kian cepat, hati-hati Bi Inah melangkah ke arah tempat yang ditunjuk oleh Ria. Mengintip dari pinggir bingkai kiri jendela, takut-takut terjadi sesuatu. Jujur saja, ia mencium bau ketidakberesan dari luar sana, ditambah lagi ketika dilihatnya wajah Ria semakin cemas dan semakin mendekap diarinya erat. “Apakah masih kurang alasan untuk aku, untuk khawatir?” gumamnya dalam hati.

“Argh! Anak sial!” jerit lelaki bertubuh besar. Ia merasakan sakit di tangannya, tiba-tiba saja. Lalu ia terduduk sambil memegangi tangan kanannya dengan tangan kirinya. Dengan sigap Ari meloloskan diri dari cengkraman lelaki itu. Ia lalu menarik tangan kanan Heru, menyentak, memberi isyarat padanya untuk berlari. Heru lalu melepas genggaman tangannya pada tangan Ratih, berinisiatif, medekat ke arah Fikri. Ratih mundur beberapa langkah. Tanpa perlu diisyarati lagi, Amir membantu Heru mengangkat tubuh Fikri. “Ugh, pesing” ujarnya dalam hati. Mereka lalu berlari sekencang-kencangnya menjauhi pria itu. Ratih mengikuti mereka. Berlari, kabur. Mereka berhasil meloloskan diri dari pria itu dalam waktu singkat. Waktu saat pria itu kesakitan karena digigt Ari. Hingga berdarah.

Heru yang memiliki tubuh paling besar dan dibandingkan Ari, Ratih, maupun Fikri, ia paling kuat, menggendong tubuh lemas Fikri. Dengan tangan kananya, Ari menggenggam tangan kiri Ratih seperti berlari menariknya, ia berlari tepat di sebelah Heru. Ratih paling belakang, ia sudah lelah, sambil tersengal ia berusaha menyamai tempo kedua teman larinya itu. Untung saja tangannya ditarik Ari, “Setidaknya membantu” pikirnya.

Mereka berlari menjauh dari lapangan, menjauh dari jarak pandang jendela kamar Ria, daimana Bi Inah sedang melihat kejadian itu, mengintip mereka yang berlari ketakutan dari pria berkaos hitam berbadan besar yang kini mulai berdiri lagi, setelah sedari tadi terlihat terduduk memegangi tangannya, kesakitan.

“Gimana bi ?” tanya Ria pada Bi Inah, yang ia lihat keningnya mengerinyit.

“ Kita telpon polisi nak.”

“ Fafi Bi…” jawab Ria tak jelas.

Tanpa perlu menunggu Ria melanjutkan bicaranya, Bi Inah lalu berkata “Biar bibi yang ngomong, sayang, tolong ambilin telponnya dong” dekapan Ria pada bukunya terlihat mulai mengendur. Segera ia memutar roda kursinya, bergerak ke arah telpon yang terletak di sebelah kasurnya, mengambilnya, lalu dengan gemetar menyerahkan telpon itu pada Bi Inah.

Tanpa menunggu lama, setelah menyambut telpon yang diberikan Ria, Bi Inah memencet-mencet tombol-tombol di gagang itu. Setelah menunggu sesaat, dengan perasaan tak sabar, akhirnya ia pun bersuara “Halo.”

“Kantor Polisi, ada yang bisa kami bantu?” jawab suara di seberang telpon, suaranya berat. Terdiam sesaat, “Halo?”

“Eh, eh, pak.. minta tolong pak..” jawab Bi Inah.

“Iya ibu? Dengan ibu siapa? Dimana? Ada yang bisa kami bantu ibu?”

“Jalan Manggis nomer 15 pak.. RT 5 RW 7.. sa, sa, saya lihat ada penjahat pak. To, tolong anak-anak itu pak, di halaman belakang rumah saya,” Bi Inah berbicara terbata, berkat tegang yang ia rasakan. Ia terus menatap jendela sedari tadi “eh pak! Pak..pak.. lari pak lari.. cepet pak tolong”

Ria mengamati Bi Inah, melihatnya, ia ingin membantunya. Tapi, ia tak bisa. Ditatapnya diarinya, menatapnya dalam-dalam. Tanpa ia sadari, sampul buku itu perlahan-lahan basah, sesuatu dari atas menimpa buku itu. Air mata Ria. Dibelainya sang-diari-tersayang, ditatapnya kembali Bi Inah yang kini masih sibuk dengan gagang telpon. Berbicara.

Mengharap, Ria teringat tentang bintang dan matahari. Termenung sesaat, lalu menatap diarinya, lalu menatap kembali wanita yang menjadi pembantu, saudara, kakak, dan ibu baginya. Pipinya lalu basah, berlinang perlahan tapi pasti, air matanya. Tangan mungilnya meraba jeruji-jeruji roda kursinya. “Iya pak! Makasih! Terima kasih!” suara itu menyentak, membuyarkan harapnya. Bintang. Matahari.

Bi Inah berjalan cepat ke arah Ria yang duduk di atas kursi rodanya.

Ria melihat Bi Inah datang ke arahnya, ia melihat bibir Bi Inah membuka dan menutup, kerut-kerut keningnya timbul tampak, menengok ke arah belakang, ke jendela, lalu ke depan kembali menatapnya. Dan terus berjalan ke arahnya. Tanpa suara.

Pandangan Ria kabur, lembab. Ia tak mendengar apa-apa, semua seperti berjalan lambat, Bi Inah terlihat hanya bergerak. Di tatapnya lagi buku diarinya, yang kini dipangkunya.

Dan di tempat lain,mereka berlari.

Di tempat lain, ia mengejar.

Di tempat lain, mereka bergegas.

Di tempat ini, Ria terduduk tak bersuara tak berkata.

Di tempat ini, seorang wanita, cemas.

Sabtu, 4 Mei 2008
Bintang. Kau ingat, kawan? Hari dimana aku bicara tentang bintang? Tentang terkadang aku menenerawang ke langit, aku iri pada bintang-bintang, aku iri pada matahari.
Bintang kecil dan Matahari, aku mulai menyukai mereka, tak lagi iri, aku mulai berpikir untuk menjadikan mereka sahabatku. Biarlah langit, jauh. Daripada tidak?
Bintang mungkin bisa menjadi teman yang baik. Matahari pun. Mereka akan selalu melihatku, bergantian. Aku tahu teman-yang-selalu-ada-menemaniku sayang, lewatnya, mereka, aku bisa melihat dunia. Coba kau pikir, semua orang melihat mereka bukan? Semua orang menjadi sahabat mereka bukan? Walau, orang-orang tak semua menganggap mereka sebagai sahabat. Apa sih sahabat itu?
Bagiku sahabat adalah kau, Bi Inah, Bunda, Ayah yang jauh, jendela besar di rumah, dan kursi roda ini. Bagaimana? Baiklah.. bintang dan matahari juga. Ya, kau benar, kita bisa menjadi sahabat baik. Kau,aku,bintang, dan matahari.
Aku..

Bruak! Ria terhenti menulis, terkagetkan oleh suara hemapasan pintu. Disusul teriakan, ramai, gaduh. Menerobos pintu kecil kamar VIP Ria. Berlari berlelahan, saling menyusul sejak dari koridor panjang. Koridor panjang berpilar banyak. Rumah sakit. Rumah Ria sekarang.

Empat orang anak. Seorang anak perempuan beserta tiga orang temannya. Heboh, tertawa, bersusul mencapai kursi Ria.

“Ria…” sapa Ratih, gadis berambut pendek. “kamu lagi ngapain? Masih sakit gak? Wah..kita
pulang sekolah langsung kesini loh…makanya masih pada pakai seragam gini, hahaha.. main kartu lagi yuk Ria…”

“Wah..udah baikan ya bos?” tanya Ari, anak laki-laki berbadan tegap, berkulit gelap.

“Nih buah..maap ya cu cu man mang mangga ma belim bi bing” kata Fikri, bocah laki-laki kurus, berambut ikal tergagap.

“Kalian ini gimana sih.. satu-satu dong..ngomongnya…” susul Heru, yang walau masih anak-anak terlihat seperti remaja SMA.

“Huuu Heru sok ngatur ah..” timpal Ratih sembati menjulurkan lidahnya.

“Dasar nenek cerewet!” balas Heru

Ria tersenyum. Mereka tertawa. Ria lalu melanjutkan tulisannya

Aku..Kau,aku,bintang, dan matahari. Kau diariku, sahabat pertamaku yang paling setia. Bintang adalah Ratih, Heru, Ari, dan Fikri. Kecil berkelip, indah. Matahari adalah Bunda dan Bi Inah.
Bintang dan matahari tak lagi jauh. Tak lagi di langit. Biarlah.
Aku bahagia.

“Ria mau belimbingnya gak nih? Tak habisin lo….hahaha” kata Ratih. Kontan Heru, dan Fikri berlari ke arah Ria. “Udah ah nulisnya, nanti lagi, kan ada kami…bintang, hehehe” Ari berkata sambil tersenyum lalu segera ke arah belakang Ria, menggenggam gagang di kursi rodanya lalu memutarnya, mendorong kursi ke arah tawa. Ke arah kerlipan cahaya. Bintang. Sahabat.

Minggu, 5 Mei 2008
Aku bahagia juga hari ini. Seperti biasa.
Syukur ya, hari itu, pria berbaju gelap itu tertangkap. Untung ada kamu, teman-paling-baikku sayang. Juga Bi Inah.
Senangnya memliki bintang. Hangatnya cahaya matahari. Aku kini lebih percaya diri. Aku mampu melakukan yang mereka lakukan, keterbatasanku bagai langit, bukan batasan. Karena bintang pun sudah kugapai.
Semoga ini bisa berlangsung selamanya.
Semoga Bunda bisa lebih punya waktu di rumah ya.. Bantu aku berdoa, oke?


Ria yang kini telah melewati langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar